Hubungan Presiden Soekarno dengan PKI ternyata bukan hanya
sekedar pelindung atau mengayomi. Dalam Ulang Tahun ke-45 PKI, Soekarno dengan
terang-terangan menyatakan ia adalah saudara/famili PKI.
AWAL dan pertengahan bulan April lalu, media massa diributkan oleh rencana Seminar Nawaksara yang di sponsori oleh Menpora Hayono Isman. Nawaksara, judul pidato Soekarno di depan Sidang Umum MPRS itu disampaikan tanggal 22 Juni 1966, terdiri dari sembilan pokok isi pidato. Kesembilan pokok itu adalah Retrospeksi, Landasan Kerja, Melanjutkan Pembangunan, Hubungan Politik dan Ekonomi, Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden dan lain-lain. Intinya pidato itu berisi pokok-pokok pandangan Soekarno mengenai kenegaraan.
Pidato 9 pokok Soekarno itu ternyata tidak memuaskan
masyarakat. Terutama karena presiden pertama ini seolah-olah sengaja menutupi
dan tidak mau tahu tragedi G30S PKI, yang menggegerkan itu. Protes keras dari
KAMI, KAPP1, KAPI, HMI, dan organisasi-organisasi Islam lain waktu itu pun
merebak cukup deras. Akhirnya MPRS meminta Soekarno memperbaiki Nawaksaranya.
Dalam pidato pelengkapnya pun Soekarno, tidak mengambil sikap tegas terhadap
PKI, sehingga akhirnya Jend. AH Nasution, pemimpin Sidang Umum MPRS, menyatakan
tidak menerima pertanggungjawabannya dan akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada
Jend. Soeharto sebagai pejabat presiden.
Mengapa Soekarno tidak terang-terangan menyalahkan PKI,
dalam pidato Nawaksaranya itu? Pertanyaan ini hanya Soekarno yang tahu pasti
jawabannya. Tapi paling tidak, bila kita meneliti hubungan keakrabannya dengan
tokoh-tokoh PKI, gagasan Nasakom dan pembelaan Sdekamo terhadap PKI pada
masa-masa 50-an dan 60-an, maka ‘Nawaksara’-nya Soekarno dapat lebih dipahami.
Dalam pidato Soekarno pada rapat raksasa Ulang tahun ke-45
PKI di tahun 1965, presiden yang dikenal ‘suka perempuan’ ini terang-terangan mendukung
langkah dan kemajuan PKI. Pidato ini berhasil dibukukan oleh Jajasan Pembaruan,
Jakarta tahun 1965. Buku kecil, 16 halaman pidato Soekarno ini diberi judul,
memetik ceramah Soekarno pada rapat raksasa itu: “Subur, Subur, Suburlah PKI”.
Di awal pidatonya presiden Soekarno memuji habis-habisan,
tokoh nomor satu PKI, DN Aidit. Coba, simak sebagian isi pidatonya (halaman 6):
“…tetapi baiklah Saudara Aidit sendiri mengatakan kepada saudara-saudara bahwa
Dipaberarti benteng. Benteng atau pulau atau karang. Nusantara adalah
Indonesia. Jadi Benteng Indonesia Aidit(tepnk tangan riuh). Benteng Indonesia
dan Banteng Indonesia Aidit (tepuk tangan panjang).” (Catatan: asli tulisan
buku itu menggunakan ejaan lama).
Tidak hanya memuji Aidit, Soekarno juga bangga menggandeng
mesra tangan Aidit, di hadapan puluhan ribu massa PKI. “Saya berkata kepada
mereka itu, cecunguk-cecunguk itu, tidak perlu mengintai-intai, ini lho,
terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, Soekarno ada disini (tepuk tangan
panjang). Terang-terangan tanpa tedeng aling-aling. Dit, sini (memanggil Bung
Aidit), ayo terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, ayo kita minta dipotret
bersama-sama (tepuktangan gemuruh), (Presiden bergandengan tangan dengan Bung
Aidit menghampiri para juru-potret sambil melambai-lambaikan tangan kepada
massa, massa menyambut dengan tepuktangan panjang)… Memang benar dulu pernah di
dalam Kongres PKI yang ke-VI, saya lebih dahulu mensitir peribahasa Jawa: dudu
sanak dudu kadang, yen mati aku melu kelangan(tepuktangan), (bukan famili,
bukan saudara, kalau mati aku ikut kehilangan —pen). Pada waktu itu malah saya
berkata: bukan saja dudu kanak, dudu kadang, tetapi saya berkata: “Yo sanak, yo
kadang, yen mati aku kelangan. (ya famili, ya saudara, kalau mati aku ikut
kehilangan —pen).
Tidak hanya pujian kepada PKI, Soekarno pun bangga dan
mendorong PKI menjadi besar. Cermatilah kata-katanya: “Di dalam kerangka
politik yang demikian itu maka sebenarnya bukanlah satu barang yang aneh, bahwa
Pemerintah Republik Indonesia merangkul kepada PKI, bahwa saya sebagai
Mandataris daripada MPRS merangkul kepada PKI, bahwa saya sebagai Pemimpin
Besar Revolusi Indonesia merangkul kepada PKI (tepuk tangan panjang), sebab
siapa yang bisa membantah bahwa PKI adalah unsur yang hebat di dalam
penyelesaian Revolusi Indonesia ini? (tepuk tangan panjang), Tadi telah disitir
oleh kawan Aidit apa sebabnya menurut pendapat saya PKI menjadi besar, PKI
ndodro, ndodro itu, lihat tangan saya lho, menjalar-menjalar, menjalar,
menjalar. PKI menjadi kuat, PKI menjadi sekarang beranggotakan 3 juta,
pemudanya 3 juta, simpatisannya 20 juta. Apa sebabnya PKI demikian? Ialah oleh
karena PKI konsekwen progresif revolusioner (tepuk tangan).”
Majalah MEDIA DAKWAH no. 275 edisi Dzulhijjah 1417 H (Mei
1997), hal. 14.
Di dalam pidatonya itu Soekarno dengan terang-terangan ingin
menghabisi/memberantas kelompok yang phobi terhadap PKI. “Terus terang saja,
terus terang saja, di kalangan Nas (nasionalis —pen), ada yang Komunisto phobi,
di kalangan Agama ada yang Komunisto phobi, di kalangan Angkatan Bersenjata
dulu ada yang Komunisto Phobi. Nah, ini penyakit phobi ini hendak saya brantas
saudara-saudara, hendak saya brantas.” (halaman 12-13).
Di akhir pidatonya, Soekarno sangat berharap agar PKI
semakin besar, subur dan terus maju. “Memang demikian saudara-saudara. Manakala
saya di dalam Kongres yang ke VII daripada PKI berkata: “PKI go ahead!
Berjalanlah terus, artinya go ahead. Sekarang pun saya berkata PKI, go ahead!
PKI maju, onward, onward, onward, never retreat! (tepuk tangan menggelegar).
Saudara-saudara sekianlah sambutanku kepada Ulangtahun ke-45 PKI ini, dan tentu
saya mendoakan agar supaya Partai Komunis Indonesia tetap subur, subur, subur,
maju, maju, maju, onward, onward, onward, never retreat!”
Bila Soekarno dalam pidato-pidatonya telah terang-terangan
mendukung penuh gerakan PKI, maka akankah orang yang mengaku menjadi
penyarnbung lidah Soekamo (pengakuan Permadi), simpatisan, pengikut dan
pendukungnya, mendukung gerakan yang melawan PKI (gerakan Islam)?. (Nuha)
Sumber:
Majalah MEDIA DAKWAH no. 275 edisi Dzulhijjah 1417 H (Mei
1997), hal. 13-14
---000---
---000---